Contributor: Nur Rohmawati Hasanah, S.Si Kegiatan SALAM atau Pesantren Akhlak…

Kontributor: Achmad Helmi Lisnawan, S.Th.I

Belasan tahun yang lalu, ketika saya masih menjadi seorang santri di sebuah pesantren di Jawa Timur, guru saya memberikan nasihat dengan kalimat yang sederhana tapi bermakna besar. “Nak jangan pernah bosan menjadi orang baik.” Itulah salah satu kalimat beliau kepada saya dan teman-teman yang kala itu mendengar nasihat-nasihatnya. saat itu saya berfikir, apakah ada orang yang bosan menjadi orang baik?. Ternyata memang setelah menjalani proses kehidupan selama ini, saya menemukan memang ada orang-orang yang akhirnya memilih jalan yang tidak diridhoi oleh Allah SWT dalam kehidupannya.
Berbuat baik merupakan ajaran universal, yang hampir semua manusia dianjurkan untuk melaksanakan. Terlebih lagi kita sebagai umat muslim, tentunya melakukan kebaikan juga merupakan salah wujud ketaatan kita kepada Sang Pencipta Alam, yakni Allah SWT. dan juga merupakan bukti bahwa kita mengikuti ajaran dan sunnah Nabi besar Muhammad SAW.
Rasullullah SAW sebagai Nabi terakhir umat ini diutus tidak lain untuk mengajarkan ahklak yang mulia, sebagaimana sabda beliau “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kesalehan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi) dan beliau merupakan mahkluk yang paling mulia karena telah mengajarkan dan memperkenalkan tauhid untuk umat manusia. Hal ini Allah Swt sampaikan dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 128, yang artinya “Sungguh telah datang pada kalian seorang Rasul dari kaum kalian, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (kebaikan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”.

Sebagai umat Nabi Muhammad SAW, kita harus mengikuti ajaran-ajaran beliau dan juga termasuk sunnah sunnahnya. Kita banyak mendengar kisah kisah kebaikan Nabi Muhammad SAW yang layak untuk kita contoh dan tiru.
Suatu ketika, Rasulullah juga pernah menjenguk seorang kaum Yahudi. Awal ceritanya, seorang kafir Quraisy menyewa seorang Yahudi untuk mengganggu Rasulullah SAW. Di lorong, tempat biasa Rasulullah melaluinya ketika hendak menuju Ka’bah orang Yahudi itu akan memanggil Rasulullah.
Rasulullah tidak pernah mengecewakan siapa pun yang memanggilnya. Di saat itulah, orang Yahudi tersebut meludahinya. Apa yang terjadi? Rasulullah tidak sedikit pun marah apalagi menghardiknya.
Keesokan harinya, hal yang sama terulang lagi. Rasul tidak dendam apalagi menghindari lorong itu. Suatu ketika, Rasulullah merasa tenang karena tak ada yang memanggil dan meludahinya. Rasulullah pun heran dan bertanya kepada salah seorang penduduk setempat. Ternyata orang Yahudi tersebut sedang sakit.
Mengetahui hal itu, Rasulullah segera ke pasar lalu membawa beberapa makanan ke rumah orang Yahudi itu. Betapa terkejutnya orang Yahudi itu ketika membuka pintu dan sosok yang datang menjenguk adalah orang yang sering dia zalimi dengan meludahinya.
“Untuk apa engkau datang kemari?” tanya orang Yahudi itu.
“Karena tidak ada yang meludahiku, aku berpikir sesuatu telah terjadi. Setelah menanyakan, benar bahwa engkau jatuh sakit. Maka saya datang untuk menjenguk,” ujar Rasulullah menjelaskan tujuannya.
Seketika itu juga, orang Yahudi itu menitikkan air matanya, seraya berkata, “Ketahuilah wahai Muhammad, sejak aku jatuh sakit tidak ada satu orang pun yang datang menjengukku. Bahkan, orang yang menyewaku untuk menyakitimu, dia pun tidak pernah datang.”

Masih terisak, orang Yahudi itu terus saja berbicara. “Betapa luhur budimu Muhammad, kendati engkau telah aku ludahi setiap hari, tidak pernah engkau merasa benci dan dendam. Justru engkau datang menjenguk aku yang sekarang tidak berdaya ini. Wahai Muhammad, mengapa engkau datang menjengukku, padahal engkau aku ludahi?”
Kemudian Rasulullah menenangkannya dengan berkata, “Tenanglah, aku kemari tidak akan balas dendam. Aku hanya ingin melihat kondisimu dan mendoakanmu. Aku yakin engkau meludahiku karena belum tahu kebenaranku. Jika engkau mengetahui, aku yakin engkau tidak akan melakukannya.”
Mendengar penuturan Rasulullah, orang Yahudi itu semakin terseudu-sedu. Ia pun berujar, “Wahai Muhammad, mulai sekarang aku akan mengikuti agamamu.” Orang Yahudi itu pun mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Dari kisah tersebut, dapat kjta renungkan bahwasanya kebaikan yang kita lakukan sejatinya adalah untuk mengharapkan ridho Allah semata. Sehingga andaikata dalam hidup ini ada suatu hal yang membuat kita kecewa padahal kita sudah melakukan kebaikan, maka kita akan tetap istiqomah dalam menjalankan kebaikan kebaikan sesuai perintah Allah dan Rasullallah.
Allah SWT berfirman dalam Surat Hud ayat 112 yang artinya “Maka istiqomahlah (tetaplah kamu pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud: 112). Mudah mudahan kita bisa mejadi orang yang istiqomah dalam melakukan kebaikan dan kebajikan, sehingga kelak kita akan menghadap Allah SWT dan Rasulullah dengan keadaan yang baik dan dipenuhi oleh keridhaan Allah SWT.